Minggu, 05 Agustus 2012

Bina Insani



Tujuan
Terbinanya insan-insan HmI yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke Islaman dan mengimplementasikanya dalam kehidupan sehari-hari


  Unsur
·       Calon Anggota Muda
·       Anggota muda
·       Anggota biasa
·       Pengurus komisariat
·       Pengurus Cabang
·       Pengelola training

Mekanisme

Ø Identifikasi
Ø Pengelompokkan
Ø Koordinasi
Ø Evaluasi Binaan



 Manajemen
  Kurikulum
-         Penyusunan jadwal pembinaan
-         Metode pembinaan
   Model pembinaan
-          
          Sarana dan prasarana


     Evaluasi
Ø Evaluasi Pembina

Ø Evaluasi Binaan

Ø Monitoring

Kata Pengantar


Seribu Gagasan Untuk Ummat

HMI adalah organisasi mahasiswa tertua dan terbesar saat ini di Indonesia. Terciptanya Insan akademis, Insan pencipta, Insan pengabdi yang bernafaskan Islam adalah karya sesungguhnya yang dipersembahakan organisasi ini bagi pembangunan Indonesia dan Islam. Maka gagasan untuk umat dalam buku ini adalah kumpulan gagasan para kadernya dalam mereformasikan sistem perkaderan HMI menuju tercapainya tujuan mulianya yaitu terbinanya insan yang akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Cikal bakal buku ini bermula dari sebuah training formal di HMI, Yaitu Advance Training ataupun dikenal dengan Latihan Kader III (LK III). Training ini adalah training formal, paling puncak dari proses perkaderan HMI, dimana lulusan dari training ini diharapkan telah memiliki tingkat kepemimpinan yang cukup untuk mengabdi bagi Umat dan bangsa. Dalam pencarian bentuk untuk menjadikan training ini lebih bermanfaat bagi perkembangan organisasi dan umat, maka dicetuskanlah ide untuk merangkum berbagai gagasan yang dihasilkan dari training tersebut menjadi sebuah buku. Penerbitan Buku ini sendiri adalah tawaran gagasan untuk dicontoh bagi LK III berikutnya. Bahkan jika memungkinkan, penerbitan buku karya lulusan LK III ini dapat tersistem di lembaga HMI, seperti menjadikannya sebuah syarat kelulusan LK III. Sehingga karya-karya yang di hasilkan dalam training ini benar-benar dapat dirasakan oleh HMI, terbangun budaya Intelektual, generasi Insan Kamil dan hasilnya terekam dalam lembar sejarah peradaban.

Karya utama dari training LK III tersebut adalah rumusan konsep “Bina Insani”. Konsep ini adalah sebuah tawaran program yang terintegrasi di sistem perkaderan HMI dari tingkat akar rumput: Komisariat hingga tingkat nasional. Konsep ini berupaya memperkokoh budaya pengkajian Al-Quran dalam keseharian aktifitas kader. Tak hanya sebatas membaca bersama tapi menggodok, menganalisa dan mengkritisi isi Al-Quran. Sehingga HMI diharapkan dapat unggul dalam pemikiran-pemikiran ke-Islaman di Indonesia yang saat ini dirasa telah mulai terkikis dan mulai didominasi dengan ke-islaman yang bersifat fatalis dan simbolis saja. Tentu saja konsep Bina Insani didesain dalam rangka mengaktualisasikan Al-Quran dalam kehidupan bermasyarakat. Realitas banyaknya alumni yang terseret dalam kasus korupsi pasca reformasi, membuat HMI harus segera merefleksi diri, mengkoreksi dan segera membenahi perkaderan agar lebih tepat mencapai tujuan mulianya, kader yang di Ridhoi Allah SWT. Bina Insani adalah “obat penawar”nya.

Dalam perjalanan berikutnya, tindak lanjut training tersebut diwadahi dalam group diskusi di dunia maya yang mengambil tempat di facebook.com. Sebuah situs yang sedang popular ini dianggap jadi wadah efektif untuk tetap menghubungkan diri. Group ini diberi nama: LK III (advance Training) Badko HMI Sumut


Awalnya hanya tediri dari orang-orang yang terlibat di training ini, yaitu dari peserta, panitia, pengelola dan pematerinya. Namun kemudian banyak kader yang tertarik untuk ikut berdiskusi atau sekedar membaca perkembangan dalam group ini, meski tetap dalam persetujuan dan pengawasan moderator yaitu beberapa peserta lulusan training tersebut. Ketika ide untuk membukukan gagasan Bina Insani dilemparkan dalam forum diskusi Group, ternyata juga disambut hangat oleh kader-kader diluar peserta training tersebut. Maka dibukalah peluang bagi setiap kader yang ingin berpartisipasi untuk mencurahkan gagasan dalam sebuah buku kumpulan gagasan ini. Seribu gagasan untuk umat juga dapat dibaca dalam blog yang disediakan khusus untuk segala perkembangan  proyek penerbitan buku ini. Silahkan mengakses situs kami di : hijauhitammenulis.blogspot.com

Seribu gagasan yang tercuat dalam buku ini adalah harapan. Simbol batu pertama untuk bangunan budaya intelektual di HMI dalam dunia perbukuan. Harapan kami, buku ini  akan diikuti buku-buku penerus, hasil dari LK III seluruh Indonesia. Sehingga seribu gagasan ini genap seribu gagasan di seri buku selanjutnya, atau bahkan lebih berkembang menjadi jutaan. Namun yang lebih penting dari semua jumlah itu, adalah bagaimana organisasi, kader atau pun masyarakat luas yang membaca buku ini dapat mengambil manfaat dan menerapkan hal-hal yang baik dari gagasan kami ini.

Semoga Berlanjut

Semoga Bermanfaat. 

Minggu, 22 Juli 2012

Ebook

ISLAM

  1. Kebenaran yang Hilang, Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim_Farag Fouda
  2. Pemetaan Islam Radikal di Indonesia dan Islam Fundamentalis di Indonesia_Al Chaidar
  3. Ummat Bergerak, Mobilisasi Damai Kaum Islamis di Indonesia, Malaysia, dan Turki_ Julie Chernov Hwang
  4. Rekonstruksi Paradigma Fikih Islam_Irwan Masduqi_2006
  5. Rekonstruksi Sejarah Al-Quran_Taufik Adnan Amal_2011
  6. Aliran Syiah di Nusantara_Prof. DR. H. Aboebakar Atjeh_Islamic Research Institute Jakarta_1977
  7. Konspirasi Intelijen dan Gerakan Islam Radikal_Umar Abduh_CeDSoS_2003
  8. Gerakan Kebebasan Sipil, Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syariah_Ihsan Ali fauzi dan Saiful Mujani_Freedom Institute_2009
  9. Kapan dan bagaimana Al-Quran Menjadi Kitab Suci_Luthfi Assyaukanie_draft_2006
  10. Beriman tanpa rasa takut_Irshad Manji_2008
  11. Aliran Syiah di Nusantara_Aboebakar Atjeh_1977
  12. Antara Dua Karang_M. Hatta_1945
  13. Pergolakan Pemikiran Islam_Catatan Harian Ahmad Wahib_edisi digital 2012
  14. Intelegensia Muslim dan Kuasa_Yudi Latif_2012
  15. Islamku Islam Anda Islam Kita_Abdurrahman Wahid_2011
  16. Membaca Nurcholis Majid_Budi Munawar Rachman_2011
  17. Gerakan Kebebasan Sipil, Studi dan Advokasi Kritis Perda Syariah_freedom institute_2009
  18. Aktivisme Islam, Pendekatan Teori Gerakan Sosial_Quintan Wiktorowicz_Yayasan abad demokrasi 
  19. Bencana Umat Islam di Indonesia 1980-2000_Team Peduli Tapol_1985
  20. Ensiklopedi Nurhilis Madjid_Budhy Munawar Rahmcan_Demokrasi Project_2012

SOSIAL POLITIK

  1. Membongkar Gurita Cikeas, dibalik Skandal Bank Century_George Junus Aditjondro_2009
  2. Utang Pemerintah Mencekik Rakyat_Awalil Rizki dan Nasyith Majidi_2008
  3. Aksi Massa Tan Malaka 1926_Econarch Institute_2000
  4. Masa lalu uang dan masa depan dunia_lucifer_2007
  5. Jaman Bergerak di Hindia Belanda_Edi Cahyono_2003
  6. Konsep Kesejarahan Kuntowijoyo_Azyumardy Azra_Ibda_Jurnal Studi Islam dan Budaya_vol 3 no.2 tahun 2005
  7. Jaman bergerak di Hindia Belanda_mosaik bacaan pergerakan tempoe doeloe_Editor: Edi Cahyono_Yayasan Pancur Siwah 2003
  8. Dibawah Lentera Merah_Soe Hok Gie
  9. The Clash of Civilization and new order of world_Samuel Huntington_1993
  10. Sejarah Tuhan_Karen Amstrong_Mizan_2002

PENDIDIKAN/TRAINING
  1. Pendidikan Populer (Membangun Kesadaran Kritis)_ Mansoer Fakih,Roem Topatimasang, Toto Rahardjo_ReaD Book_2000
  2. Totto Chan Gadis Cilik dibali Jendela_Tetsuko Kuroyanagi
  3. Berfikir kreatif_Artikel_Ratna Megawangi

NOVEL

Materi LK III

Ideologi & Stratak
  1. Strategic Planning
  2. Ideologi Politik Strategi dan Taktik
  3. Filosofi Advokasi
  4. Ideologi dan Islam_Nur Ahmad Fadhil Lubis_LK3 Sumut 2011
  5. Islam dan Percaturan Ideologi Dunia_Masri Sitanggang_Lk3 Sumut 2011
Orientasi
1. Orientasi LK III Sumut_2011

Minggu, 15 Juli 2012

SEJARAH KELAM SISTEM KHALIFAH.??


Oleh: M. Syawal

Salah satu argumentasi yang kerap dilontarkan untuk menolak sistem Khilafah adalah alasan sejarah. Sejarah Khilafah digambarkan sebagai fragmen kehidupan yang penuh darah, kekacauan dan konflik. Paling tidak ada tiga argumentasi sejarah yang dilontarkan: (1) Khalifah merupakan sistem otoriter dan diktator; (2) Pembunuhan yang tejadi dimasa Khulafuur-rosyidin; (3) Perlakuan terhadap non muslim dan wanita. Berdasarkan fakta sejarah ini kemudian disimpulkan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang tidak layak bagi manusia. Sistem ini pun dituduh sebagai sistem yang diktator, tidak memiliki mekanisme untuk mencegah penyimpangan dan kekacauan. Sistem inipun dituduh tidak memperhatikan non muslim dan merendahkan derajat wanita.  Secara mendasar ada beberapa kesalahan mendasar dari argumentasi diatas. Pertama, dalam menempatkan posisi sejarah Islam. Perlu kita ketahui bahwa kewajiban Khilafah bukanlah didasarkan kepada argumentasi sejarah. Artinya, sejarah bukanlah dalil untuk menerima atau menolak sistem Khilafah. Dalam Islam , yang menjadi dalil syara’ adalah al Qur’an , as Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Karena itu  kewajiban Khilafah haruslah merujuk kepada empat dalil tersebut.  

Namun bukan berarti sejarah (tarikh) tidak ada artinya sama sekali. Sejarah sebagai peristiwa masa lampau bisa dijadikan pelajaran dan kajian tentang pelaksanaan dari hukum-hukum syara oleh manusia. Artinya, dari sejarah kita mengetahui apakah hukum syara tersebut dilaksanakan atau tidak, kita juga tahu bahwa apa akibat kalau hukum-hukum syara tersebut tidak dilaksanakan. Sebab bagaimanapun manusia sebagai pelaku hukum-hukum syara bukanlah ma’sum (yang tidak mungkin salah). Sebagai manusia bisa saja Khalifah melakukan kekeliruan dalam pengertian menyimpang dari batasan-batasan hukum syara’. Satu-satunya yang ma’sum yang tidak mungkin keliru adalah para nabi dan Rosululullah.  

Sebagai sistem yang dipraktekkan oleh manusia sistem Khilafah adalah sistem politik yang manusiawi. Karena itu dalam berbagai praktek dalam sistem Khilafah, bisa saja terjadi kekeliruan. Namun yang penting disini dicatat disini adalah kalau penyimpangan yang dilakukan oleh Khalifah atau pejabat negara, bukan berarti kemudian sistem Khilafahnya yang salah dan keliru. Tapi pelaksanaan dari orang-orangnya. Adalah tidak relevan menyalahkan sistem yang ideal dengan melihat kesalahan dari pelaku sistem yang ideal tersebut.

 Contoh sederhana adalah keliru menyimpulkan Islam kalau melihat prilaku orang-orang Islam saat ini. Di Indonesia misalnya, sebagai besar pelaku kriminal adalah orang Islam, banyak pelaku korupsi juga orang Islam, harus diakui banyak orang Islam yang tidak menjaga kebersihan dan lingkungannya. Namun, tentunya tidak disimpulkan- dengan hanya melihat kelakuan dari orang-orang Islam tersebut- bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan pemeluknya melakukan kejahatan seperti itu.

 Untuk menilai Islam haruslah dilihat bagaimana sumber-sumber Islam dalam hal ini syariah Islam mengatur dan menjelaskan persoalan tersebut. Tidak ada satu dalilpun di dalam Al Quran dan Sunnah yang memerintahkan seperti itu. Justru sistem Islam melarang dan menghukum para pelaku kriminal dan korupsi. Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Artinya, fakta-fakta yang salah tersebut justru diakibatkan karena pemeluk Islam meninggalkan ajaran Islam yakni syariah Islam tentang perkara tersebut. Bukan karena syariah Islam itu sendiri. Sama halnya dengan fakta-fakta buruk dalam sistem Khilafah, bukan disebabkan oleh sistem Khilafah itu sendiri. Tapi justru bentuk penyimpangn dari syariah Islam yang seharusnya diterapkan secara konsekuen dalam sistem Khilafah oleh rakyat dan penguasanya.

Sebagai contoh, ketika Muawiyah memaksa rakyat untuk membait anaknya Yazid sebagai Khalifah, merupakan bentuk penyimpangan dari syariah Islam. Sebab dalam Islam Khalifah adalah hasil pilihan rakyat dan kerelaan rakyat (ikhtiar wa ridho). Jadi yang menyimpang adalah tindakan Muawiyahnya bukan sistem Khilafahnya. Sehingga tiidak bisa kemudian dikatakan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang otoriter berdasarkan sejarah di era muawiyah ini.  

Kesalahan kedua adalah, terjebak pada generalisasi. Menyimpulkan sistem khilafah adalah sistem yang buruk hanya dengan mengungkap beberapa fakta sejarah adalah keliru. Beberapa fakta sejarah tentang sikap Khalifah tidaklah kemudian bisa mencerminkan keseluruhan dari sistem Khilafah tersebut. Apalagi yang dilakukan oleh Khalifah tersebut adalah bentuk penyimpangan dari sistem Khilafah yang ideal. Adalah keliru menggambarkan masa pemerintahan Bani Umayyah dengah hanya memfokuskan sejarah seorang Yazid. Atau  menggambarkan masa pemerintahan Bani Abbas hanya dengan mengambil sebagian peristiwa dan tingkah laku para Khalifahnya. Apalagi yang menjadi fakta sejarah itu adalah buku-buku sejarah yang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang nyata kebenciannya terhadap Islam

Sama halnya kita adalah keliru menggambarkan pemerintahan Bani Abbas dengan membaca kitab Al Aghani yang dikarang untuk menceritakan tingkah laku para biduan, para pemabuk, penyair,dan sastrawan atau membaca buku-buku tasawuf yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Yang perlu diperhatikan cerita-cerita tentang para penguasa dan pejabatnya banyak ditulis oleh pihak-pihak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagian besar mereka adalah pencela atau pemuja yang tidak bisa diterima periwayatannya.  

Sumber sejarah yang bisa diterima adalah yang bisa dipertanggungjawabkan periwayatnya sehingga sumber-sumbernya layak diterima. Persis sama dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan hadits. Cara penulisan seperti ini (yang periwayatan yang bisa dipertanggungjawabkan) bisa dilihat dalam kitab tarikh Tabari dan Siroh Ibnu Hisyam.

Kesalahan ketiga adalah saat menjadikan sistem demokrasi sebagai standar untuk menilai baik dan buruknya Khalifah atau sistem Khilafah. Sistem Khilafah tidak bisa dinilai dari pradigma baik dan buruk menurut sistem demokrasi. Apalagi dengan asumsi kalau itu tidak sesuai dengan sistem demokrasi berarti sistem itu adalah diktator, otoriter dan jelek. Padahal sistem demokrasi sendiri adalah sistem yang buruk yang tidak layak dijadikan sebagai standar untuk menilai baik dan buruk bagi kaum muslim. Yang harus dijadikan standar , sekali lagi adalah syariah Islam.  Dengan asumsi kalau berbeda dengan demokrasi adalah diktator atau otoriter , maka banyak yang keliru menyimpulkan sistem khilafah itu adalah diktator dan otoriter. Padahal standar yang digunakan  ini jelas keliru.  Sebagai contoh, dalam sistem demokrasi  , sebuah sistem dikatakan baik kalau menganut asas trias politika. Berdasarkan asas ini, harus dipisahkan tiga fungsi dalam sistem politik (legislatif, yudikasi, dan eksekutif). Alasannya, kalau tiga fungsi ini tertumpu pada satu orang seperti dalam sistem Teokrasi di Eropa, penguasa itu akan cendrung menjadi diktator.  

Sementara dalam sistem Khilafah, Khalifah selain sebagai eksekutif (pelaksana pemerintahan), dia juga memiliki wewenang sebagai yudikatif untuk mengadili pelanggaran di tengah masyarakat. Jelas kalau berdasarkan cara pandang demokrasi ini, sistem Khilafah ini berarti otoriter atau diktator.  

Apalagi muncul kesalahan saat menganggap Khalifah juga memiliki fungsi legislasi seperti sistem teokrasi,  yang menganggap suara raja adalah suara Tuhan. Sehingga kata-kata raja adalah kebenaran itu sendiri. Karena itu raja tidak pernah salah. Kemudian disimpulkan sistem Khilafah  akan sama kondisinya dengan sistem teokrasi yang memunculkan penguasa yang diktator dan otoriter.

Menyamakan sistem Khilafah dengan teokrasi seperti ini adalah keliru. Sebab, kata-kata Khalifah bukanlah otomatis kata-kata Tuhan yang pasti benar. Khalifah dalam keputusan dan kebijakannya tetap harus merujuk kepada hukum syara’. Karena itu, Khalifah sangat mungkin salah dan menyimpang dari hukum syara. Untuk itu,  Islam mewajibkan untuk melakukan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil hukkam) yang menyimpang dari hukum syara’. Ada kewajiban koreksi ini jelas menunjukan bahwa Islam melihat kemungkinan bahwa Khalifah itu keliru. Kalau kata-kata Khalifah selalu benar, untuk apa Islam mewajibankan mengkoreksi penguasa yang menyimpang ?   

Kesalahan keempat  adalah saat menyimpulkan bahwa Khilafah tidak memiliki sistem tertentu dengan melihat terjadinya konflik, pembunuhan atau kekecauan di beberapa bagian dari sejarah Khilafah. Seperti terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah. Kemudian dengan sederhana menyimpulkan karena ada pembunuhan terhadap kepala negara  berarti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu sendiri

Untuk menilai apakah tidak ada sistem untuk mencegah itu seharusnya yang dijadikan rujukan adalah sumber sistem itu, dalam hal ini adalah syariah Islam. Dalam hal ini syariah Islam jelas memiliki cara untuk mencegah  dan menangani konflik tersebut.  

Kalau semata-mata ada kekecauan dan pembunuhan, kenapa tidak dikatakan bahwa sistem demokrasi tidak memiliki sistem ? Padahal pembunuhan kepala negara, politikus, juga terjadi dalam sejarah sistem demokrasi seperti di Amerika Serikat dan Eropa . Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam,  bukanlah tanpa konflik. AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami perang saudara yang berdarah-darah. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton ,apakah AS sepi dari hal itu ? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Reagen dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya.   

Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, penuh dengan pertumpahan darah dan konflik  seperti yang terjadi di  Balkan saat ini.
sala satu khlifah Islam

KEMBALI MENGGAGAS NEO-HMI


By: Ahmad ArifinMenangkap Semangat Zaman, Memperluas Horizon Himpunan, Memaksimalkan Nilai dan Potensi Kader HMI, Melahirkan Pemimpin Masa Depan yang berkarakter di Era Informasi



Menggagas Neo-HMI Lebih serius

Gagasan besarnya adalah menubuhkan HMI sebagai rumah kultural yang nyaman bagi semua mahasiswa ber-KTP Islam tanpa memandang setinggi atau serendah apa kadar religiusitasnya, tanpa mengacuhkan segenap pemahaman dan aliran ke-Islam-annya. Sebab HMI adalah milik semua dan semua berhak memiliki HMI. 

Ide dasarnya adalah menjadikan HMI sebagai sekolah pengembangan kepribadian seutuhnya tempat segenap bakat dan minat anak-anak muda mengalami fermentasi, mengalami metamorfosa menjadi insan-insan yang siap menghadapi gejolak hidup paska kuliah. Menjadi insan-insan muda neo-Sufi yang independen secara etis, organisatoris dan finansial. Menjadi paramuda yang positif memandang dunia, yang berpikiran terbuka terhadap perubahan, yang bersangka baik terhadap sesama dan berkepala dingin terhadap Tuhannya. Menjadi Belia-belia profesional yang cakap dalam bidangnya sekaligus tanggap terhadap perubahan sekitarnya. Menjadi agent of social change sejati serta agent of social control seutuhnya. Idealnya insan cita HMI seperti itu di masyarakat citanya. 

Mari kita jujur terhadap diri sendiri, selama ini output HMI hanyalah menjadi Politisi (sebagian terbesar) mengikuti jalan Akbar Tandjung, ada juga yang menjadi Intelektual mengikuti jalannya Nurcholish Madjid serta ada pula yang menjadi Pekerja Sosial mengikuti jalannya Munir. Ketiga kategori itu adalah output alumnus HMI hasil disain organisasi selama ini –dan itu tidaklah salah. Tetapi apakah ketiga kelompok kategori itu mencukupi di era informasi sekarang ini? Jelas jawabannya tidak! Terus terang saja jika ingin terus bertahan ke masa depan, HMI membutuhkan output-output alternatif yang memang didisain seperti itu secara serius. Selama ini –dan sekarang ini- HMI bukanlah wadah yang efektif untuk banyak minat dan bakat profesional anak-anak muda yang sekarang sedang mewakili zamannya di kampus-kampus (..sementara HMI sendiri sibuk bernostalgia dengan zaman-zaman kejayaan dulu yang sebenarnya sudah tidak sesuai lagi). 

Karena itu HMI harus berubah.. Yakinlah tanpa adanya perubahan maka tidak lama lagi HMI akan tertinggal sebagai fosil sejarah. Karenanya berubah adalah satu-satunyanya pilihan! 

Dan perubahan paling mendasar adalah bagaimana mendisain HMI agar semakin legit menangkap semangat zaman dan bukannya terkubur masa. Itu artinya HMI wajib menyesuaikan diri dengan keadaan dan suasana batin orang-orang muda di Kampus-kampus yang sekarang lebih skeptis terhadap organisasi kemahasiswaan konvensional semodel HMI karena ternyata semakin hari semakin bar-barian dan terkesan murahan. Mereka adalah generasi muda yang merepresentasikan masa depan negara ini paling tidak untuk sepuluh-dua puluh tahun ke depan. Mereka terlahir untuk era baru yang lebih menantang karenanya mereka jauh lebih disiplin, lebih cepat, lebih profesional, lebih berbakat dan lebih percaya diri. 

Jadi, pertanyaan pokoknya adalah apakah kita masih hendak mempertahankan disain lama dari era usang atau justru bersiap menyongsong arah dan era baru? 

Sebab yakinlah, merekrut mereka menjadi penerus HMI dengan cara-cara lama tidak akan efektif. Tanpa HMI mereka masih bisa hidup dan hidup mereka bahkan lebih cerah lagi. Atau lebih tragis lagi, bisa jadi dengan menceburkan diri ke HMI mereka justru melambatkan masa depannya paling tidak seoktaf ke belakang. Kenapa? Karena HMI tidak bisa memberikan apa yang mereka butuhkan! Itu sebabnya HMI tidak diminati karena tidak menampung minatnya. Itu karena HMI tidak bisa menjadi Pemandu bakat karena hanya tertarik kepada satu bakat saja.. 

Kita bisa memulainya dari sini dan karena itu Neo-HMI diperlukan! 

Neo-HMI adalah semangat perubahan konstruktif yang akan menjadikan HMI setingkat lebih berkembang dalam horison dan dimensinya. Mari membayangkan HMI adalah rumah untuk seluruh potensi mahasiswa yang ada bukan sebatas kepada mereka-mereka yang berminat kepada politik dan sejenisnya. Mari mengidamkan HMI menjadi organisasi paripurna yang dilirik mahasiswa darimanapun latar belakangnya karena memberikan pilihan alternatif untuk mengasah minat dan bakatnya -apapun itu! Mari mengkhayalkan HMI menjadi sejenis pendidikan tinggi kedua yang berjalan beriringan dengan Kampus dalam karir kehidupan kedewasaan seorang Paramuda -tidak lebih penting tetapi juga tidak lebih rendah.. 

Kita tahu bahwa Neo-HMI sempat menggema beberapa waktu yang lalu, tetapi karena tiadanya keseriusan tingkat tinggi diantara Para Pemangku kepentingannya maka sang gemapun sudah layu sebelum berkembang. Karena itu dia perlu dibangkitkan kembali tentu dengan cita rasa dan kearifan. 

Apakah itu mungkin? Jawabannya: sangat - sangat memungkinkan! Atau bagi yang merasa hal itu semacam mimpi maka biarlah terus bermimpi sebab impian adalah awal dari sebuah perubahan. Sebab matinya gagasan adalah awal dari matinya peradaban..

Mencoba Menghindar dari Budaya Tukang Tanduk

Sebagai ghalibnya sebuah organisasi sosial yang nirlaba maka persoalan pendanaan kegiatan selalu menjadi masalah klasik bagi setiap periode kepengurusan HMI. Dan solusi instan untuk masalah itu –yang juga sudah klasik- adalah menggelar apa yang disebut tradisi pengumpulan dana, mulai dari sekadar ‘patungan’ untuk sekadar membiayai Pecal Party di Komisariat hingga ke hal-hal yang lebih serius seperti untuk berangkat LK II ke luar daerah. Dus, sampai disitu belum terlihat adanya masalah yang berarti. 

Sayangnya seumpama meminum air putih, segelas dua gelas tidak akan membahayakan diri malah justru menyegarkan dan menyehatkan. Nah, sekarang cobalah tenggak agak segalon! Anda akan mengalami apa yang disebut mabok aqua..

Maksudnya, kebiasaan baik mengumpulkan sumbangan yang sepenuhnya murni di tingkatan komisariat justru mengalami bias orientasi di tingkatan HMI selanjutnya. Kita sekarang mengenalnya dengan sebutan ‘tukang tanduk’ yang sayangnya sudah menjadi budaya di Himpunan –sayangnya pula termasuk budaya negatif. Tradisi menanduk alumni atau birokrat melahirkan kultur uang instan dengan motif yang semakin personal alias untuk kepentingan pribadi semata. Jadi ketika di komisariat tanduk yang nongol di jidat anak-anak HMI baru seupil maka di tingkatan PB HMI tanduk itu sudah melintang panjang seperti tanduk kerbau dari Padangbolak sana. Tragisnya kultur itu masih tetap dibawa-bawa setelah menjadi alumni olehkarena tidak terbiasa mencari uang dan pekerjaan alias non-skill. Kita dapat melihat contoh-contoh kasus untuk kisah ini justru di tingkatan elit organisasi yang seharusnya memberikan teladan baik. 

Semuanya terjadi karena pembiasaan dan pembiaran. Kita terlupa bahwa menanduk itu sama saja dengan meminta-minta meskipun kita berstelan modis dan wangi. Kita juga alpa bahwa apa yang gratis sesungguhnya sama dengan ‘tidak berharga’ termasuk juga kita yang mendapatkannya. Lalu apakah kita akan membiarkan juga HMI berubah menjadi Perkumpulan Pengemis Golongan Putih? 

Kita mesti mencoba menghindar dari budaya buruk itu semenjak awal –sejak dari komisariat dan cabang. Tak ada pilihan lain. Kita toh tidak ingin memproduksi kader-kader bermental jenggot yang hanya bisa nempel ke atas tapi tidak mempunyai akar meski hanya sekadar akar serabut. 

Apakah itu memungkinkan? Jawabannya sekali lagi: sangat-sangat memungkinkan! Karena kita punya potensi yang selama ini belum pernah digarap secara serius. Kita bisa memulai dari:


Membumikan NDP Lebih Taktis

Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI adalah harta benda Himpunan yang nilainya sungguh tak terkira. Setelah independensi maka NDP-lah yang memberi ciri khas yang sangat berwarna HMI dan karena itu wajib dijaga dan bukannya dibuang ke tong sampah. Inilah nilai-nilai yang menjadi substansi Kader-kader HMI selama ini. Andai kita ingin melahirkan Pemimpin yang berkarakter dank has HMI maka tak dapat tidak kita tidak mungkin mengecualikan NDP dan Independensi HMI.

Nah, sayangnya sampai sejauh ini NDP ternyata belum pernah dikelola secara maksimal sehingga menimbulkan kesan elit dan ‘berat’. Padahal sakralisasi NDP hanya akan menjauhkannya dari jangkauan anak-anak muda yang sedang bersemangat mencari jati diri. Al-hasil NDP hanya akan menjadi menara gading yang indah dipandang tetapi sulit dijangkau. 

Bukankah NDP selama ini hanya kita dapatkan di arena formal semacam LK I dan training semacamnya? Di luar itu kita kesulitan mengakses dokumen itu sebab biasanya diskusi-diskusi informal tidak cukup menarik minat. Karena itu ‘dia’ memang harus dibuat dalam bentuk yang lebih resmi dan mengikat semodel kelas-kelas kajian. Hanya itu cara yang paling pas untuk sesuatu yang kita sebut sebagai ‘cara ber-Islam khas HMI’. 

Karena itu NDP justru perlu dimassalkan menjadi kajian populis bagi segenap kader-kader HMI. Bentuknya adalah modul-modul praktis dengan kurikulum terperinci seperti SKS di perkuliahan. 

Dengannya kita berharap nantinya NDP benar-benar menjadi landasan budaya segenap komponen HMI meski telah alumni. Dengannya kita ber-asa melahirkan Pemimpin-pemimpin HMI yang bonafid yang pada akhirnya bisa menjadi Pemimpin bangsa yang berkarakter teguh. Kita juga berkeinginan NDP menjadi ciri Neo-HMI di masa depannya dan karenanya sebaiknya dia menjadi ‘betul-betul’ landasan theologies setiap agenda HMI termasuk seperti yang ingin dirancang di bawah ini.


Meningkatkan Kapasitas BPL

Badan Pengelola Latihan (BPL) adalah sokoguru yang menjaga HMI tetap dalam ruhnya sebagai organisasi perkaderan dan bukan sekadar organisasi massa yang massal. Untuk level dan tingkatannya HMI sampai sekarang masih tetap merupakan organisasi perkaderan terbaik dari semua yang ada dan meskipun tidak di setiap unit-unit HMI masih bersetia dengan ruh organisasi itu tetapi kita tetap masih boleh berbangga –saya kira- bahwa sebagian terbesarnya masih seperti itu. BPL HMI di tingkatan cabang dengan bantuan supervisi yang lebih serius dari Badko dapat memastikan hal itu terjadi 

Intinya, BPL HMI adalah sesuatu yang harus terus kita jaga dan support perkembangannya. Kita perlu terus mendorong dan membudayakan niatan kader-kader HMI untuk menjadi instruktur agar semakin tinggi dari periode ke periode karena justru disitulah nafas perkaderan HMI terletak. 

Sekarang mari kita berhitung dengan faktor pengali utama adalah fakta bahwa jabatan keinstrukturan merupakan jabatan yang dipegang terus-menerus seumur hidup. Berapakah jumlah Instruktur yang dimiliki setiap HMI Cabang dan Badko selama ini? Jawabannya pasti sangat banyak meski data pastinya tidak ada. Kemanakah mereka ‘bersembunyi’ selama ini? Dan mengapa tidak pernah ‘diaktifkan’ kembali? 

Jawaban atas pertanyaan itu ialah karena mereka memang tidak diperlukan lagi karena training-training yang perlu dikelola hanya sebatas training formal yang selama ini ada dan cukup diberdayakan oleh Instruktur-Instruktur muda yang muncul belakangan. Adapun Sang Senior Sepuh dengan segala pengetahuan dan pengalaman berkaratnya mengalami ‘kuldesak’ karena tidak menemukan tantangan baru dan akhirnya menghilang begitu saja seperti berlalunya angin. 

Mari kita ajukan proposal yang menerobos kebekuan selama ini dengan meningkatkan kemampuan BPL HMI cabang-cabang yang ada dengan supervisi sepenuh hati dari Pengurus Badko HMI Riau Kepri. Mari kita rekrut kembali Instruktur-instruktur sepuh dan mari kita lahirkan wahana-wahana baru yang sesuai dengan kapasitas senioritas mereka. Mari kita tingkatkan kapabilitas BPL HMI Cabang-cabang sekawasan koordinasi Propinsi Riau dan Propinsi Kepulauan Riau melewati horizon dan spektrum baku-nya selama ini. 

Apa yang saya maksudkan adalah menjadikan BPL HMI Cabang-cabang untuk tidak hanya fokus ke dunia internal HMI semata tetapi sudah seharusnya berani memandang dan bereksperimental di luar HMI. Sudah saatnya kita mengikuti trend pendidikan alternatif luar kampus seperti gejala yang sedang in saat ini.


Membidani Jenis Training Varietas Baru

Terkait dengan hal di atas maka sangat perlu untuk berani melakukan terobosan-terobosan dalam bentuk penciptaan training-training baru atau yang semacam itu. Tentu bukan dalam artian membuat Latihan Kader (I, II dan III) dalam bentuk yang lain –meski itu juga ide yang sangat menarik. Yang kita maksudkan adalah fasilitasi terhadap tantangan zaman era baru yang semakin kompleks dan karenanya perlu kita antisipasi terutama karena tidak akan kita temukan di bangku perkuliahan – atau setidaknya belum!

Sudah saatnya HMI memberikan pilihan-pilihan pendidikan alternatif semodel Training ESQ-nya Ary Ginanjar atau Seminar Motivasi Diri a la Mario Teguh yang sekarang ini semakin digandrungi dimana-mana sebagai pilihan pengembangan kepribadian masyarakat terdidik kelas menengah di perkotaan. HMI jelas memiliki kemampuan melakukan hal yang sama karena telah berkecimpung puluhan tahun dalam dunia training. Dengan bantuan para Sesepuh kita pasti bisa meluncurkan sejenis kompetensi baru yang khas HMI sehingga kita turut berandil dalam zaman baru yang kompleks ini. 

Nah, pada saat yang sama HMI juga perlu melahirkan lagi sejenis training kecabangan berdasarkan minat dan bakat kader-kader HMI. Selama ini kita hanya mengenal Senior Course dan Latihan Khusus Kohati sebagai pilihan terbatas bagi anak-anak HMI. Tetapi sejalan dengan semangat zaman yang semakin menghargai profesionalisme berbasis skill yahud, kita mesti memfasilitasi kemunculan training seperti dimaksud. 

Dan dalam soal cipta-mencipta sejenis training anyar ataupun mengkreasi sesuatu yang baru seharusnya bagi HMI bukanlah suatu persoalan berarti mengingat di masa lalu hal itu sudah banyak terjadi. Lagipula hal-hal seperti itu dimungkinkan oleh Konstitusi HMI.


Politik Pemihakan terhadap Lembaga Kekaryaan

Hal di atas sekaligus dimaksudkan sebagai bagian dari persiapan untuk lebih serius berpihak kepada pengembangan Lembaga-lembaga Kekaryaan (LK) yang selama ini di anak tirikan. Politik pemihakan harus dilakukan oleh Pengurus HMI Cabang maupun Badko HMI Riau Kepri agar eksistensi lembaga ini dapat berjalan kontinyu dan tidak layu di tengah jalan.

Lembaga Kekaryaan sudah lama ada di tubuh HMI sebagai wahana alternatif untuk mengasah minat dan bakat anggota HMI. Sayangnya tidak pernah ada keseriusan untuk mengembangkannya, adapun anak-anak HMI lebih tertarik ke organisasi induk yang biasanya hanya tertarik kepada masalah-masalah politik. 

Thus, oleh sebab itu ini saatnya kita berpaling kepada lembaga kekaryaan yang potensinya justru sangat melimpah di seluruh komisariat dan cabang HMI. Untuk sekadar memberi contoh dapat disebutkan bahwa hampir setiap komisariat di bawah binaan Cabang HMI sebenarnya memiliki karakteristik yang unik dan dominan, sebagian dikarenakan asal fakultas yang memang spesifik sebagian lagi karena alasan sejarahnya selama ini. Semuanya itu merupakan modal untuk membentuk lembaga kekaryaan sesuai karakteristik yang dimaksudkan. 

Tentu melahirkan Lembaga Kekaryaan itu gampang saja, yang paling sulit justru menjaganya tetap ada. Untuk itulah diperlukan peran serta Pengurus Badko HMI Riau Kepri untuk secara serius melakukan pembinaan sebagaimana fungsinya selama ini. Adapun Cabang-cabang HMI juga mesti pandai-pandai melakukan skala prioritas berdasarkan urgensi kebutuhan cabang –tidak asal banyak dan tidak asal ada. Perlu juga dipikirkan untuk memperpanjang masa kepengurusan setidaknya dua tahun di masa awal pertumbuhannya –dengan melanjutkan periode kedua meski dengan pengurus yang sama.


Koperasi Insan Cita

Sejalan dengan semangat kemandirian dan profesionalisme HMI yang diangankan, sudah pada tempatnya jika HMI mulai berpikir soal sumber pendapatan finansial sendiri –sumber utama kritik terhadap dependensi HMI selama ini. Ini tentu tidak dengan maksud mengubah bentuk dan karakteristik keorganisasian HMI yang sudah ada selama ini. Hal itu takkan pernah dapat dibenarkan dan tak perlu dilakukan. 

Jika lembaga kekaryaan adalah sarana mempersiapkan profesionalitas kader HMI, di lain pihak bagi Pengurus HMI solusi paling praktis adalah membangun apa yang dinamakan ‘Koperasi Insan Cita’. Koperasi adalah instansi bayangan HMI yang dapat dipergunakan sebagai lembaga untuk menjemput karya dan kekaryaan yang biasa kita sebut ‘proyek’ itu. Ini jauh lebih terhormat daripada sekadar meminta-minta sumbangan dan bantuan ‘halal dan tidak mengikat’ yang selama ini kita lakoni –meskipun sejujurnya harus diakui belum tentu akan mampu mengakomodasi seluruh kebutuhan. Tetapi setidaknya itu adalah niat dan sebagai sebuah sarana mempersiapkan diri menjadi Enterpreuner yang intelektuil maupun Intelektual yang ber-enterpreurship. 

Koperasi adalah wahana resmi yang paling mampu mengakomodasi kemampuan skillitas yang semi professional sekaligus pada saat yang sama berasaskan kebersamaan orang banyak yang sesuai belaka dengan HMI.


Penutup

Kulminasi sederhana dari NDP sebagaimana kita ketahui adalah tiga puncak yang kita sebut Islam Iman dan Ihsan, atau lainnya adalah Iman Ilmu dan Amal. Insya Allah inilah yang kita sasar melalui pengembangan kualitas insan cita paripurna untuk setiap detik kekaderan yang kita lalui. Mudah-mudahan tidak ada yang mustahil disitu karena pada akhirnya kita akan menjadi insan-insan Neo-Sufi yang sebagaimana dilansir Cak Nur sebagai bentuk lain dari Insan Cita yaitu orang-orang baik yang tidak mau ‘meninggalkan’ dunia tetapi justru menggumulinya dengan semangat kehanifan. 

Dan jika benar-benar diperhatikan, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar baru dari uraian di atas. Karena itu, ini bukanlah tentang HMI Baru melainkan sekadar HMI yang dibaharukan. Itulah Neo-HMI atau setidaknya Neo-HMI a la citarasa sendiri. 

Satu lagi, meski tulisan praktis ini adalah asa yang hendak dicapai secara serius tetapi pada akhirnya adalah musykil membayangkan bahwa semuanya akan mewujud dalam satu periode kepengurusan yang hanya satu atau dua tahun. Olehkarena itu andai kita semua bersepakat dengan kertas kerja ini –saya sungguh berharap demikian- maka hendaknya kita juga seia sekata memperjuangkannya di tahun-tahun yang akan datang. 

Sebab keseriusan memerlukan waktu! 

Terimakasih.